Banyaaaaaak sekali yang bertanya pada saya kenapa saya gak ngambil musik sebagai major saya. Musik memang sudah menjadi minat saya dari kecil. Saya lahir sebagai anak dari seorang pemusik dan selama hidup saya ini, musik memang sudah selalu menjadi “makanan” saya sehari-hari. Dan sekarang walaupun saya bersyukur saya sudah punya karir sebagai penyanyi, saya merasa bahwa saya butuh sesuatu yang lain dan lebih untuk masa depan saya apalagi dengan kondisi industri musik yang sering labil seperti sekarang ini – trend cepat sekali berganti, bahkan banyak sekali mereka yang tidak mengerti apapun soal musik ikutan masuk ke industri musik. Jadi daripada saya “terjebak” di dalamnya, saya rasa ada baiknya saya mencari ilmu baru dan menambah wawasan saya.
Saya juga melihat papa saya kini bisa berhasil walaupun tanpa pendidikan formal di bidang musik. Papa saya alumni arsitek di UI dan hanya pernah les piano klasik selama satu/dua tahun saat dia masih kecil. Sisanya, ia belajar otodidak dari buku-buku dan pengalaman-pengalamannya. Dan kini ia punya orkestranya sendiri. Tapi ia berkata, sesungguhnya ilmu di arsiteknya pun banyak berguna di dalam pekerjaannya kini. Selain karena bisa membantu mendesign studio dan terkadang panggung, arsitektur juga membantunya mengasah tentang struktur, komposisi, dan juga imajinasinya yang ia bisa apply ke musiknya.
Lalu kini, saya pun kini memilih jurusan Ekonomi. Jujur sejujur-jujurnya, saya masih belum merasa pasti nantinya saya akan bekerja sebagai apa di bidang ini. Tapi sejak bertemu pelajaran Ekonomi di SMA, saya memang begitu tertarik. Karena sejak itu, semua yang saya baca di koran dan tonton di berita tiba-tiba jadi make sense.
Saya semakin tertarik juga karena membaca sebuah buku yang sebenarnya waktu itu hanya saya pilih secara random, judulnya The Economic Naturalist. Di cover belakang buku itu tertulis:
Why do brown eggs cost more than white ones?
Why is there a light in your fridge but not in your freezer?
Why did Kamikaze pilots wear helmets?
The answer is simple: economics.
Saya merasa lucu bagaimana buku ini menunjukkan bahwa teori-teori ekonomi dapat menjelaskan banyak sekali kejadian sehari-hari. Dan saya menjadi sadar bagaimana ekonomi sebenarnya sungguh dekat dengan kehidupan kita. Bukan hanya masalah hitung-hitungan uang, perdagangan, dan resesi. Tapi pilihan sehari-hari kita pun, seperti either to eat martabak or nasi goreng, bisa dihubungkan dengan teori ekonomi lewat opportunity cost nya.
Lalu, jika dilihat dari skala lebih besarnya, ekonomi pun punya peran yang sangat besar bagi negara dan para penduduknya. Ekonomi lah yang menciptakan lapangan kerja, memastikan kita dapat memenuhi our basic necessities, dan bahkan membuat kita bisa menikmati makanan-makanan import dari Jepang atau barang-barang murah dari China.
Saya juga merasa bahwa economic performance suatu negara sering sekali dijadikan indicator kesuksesan negara tersebut. Saya bangga Indonesia termasuk deretan negara-negara yang survive, bahkan mengalami growth, saat global recession 2008 lalu. Dan lihatlah kini semua mata tertuju pada Greece karena masalah ekonomi yang sedang dialaminya.
Sekarang saya belajar semua ini dengan harapan (siapa tau) saya bisa menyumbangkan sesuatu lah untuk membantu masalah-masalah ekonomi di Indonesia. Siapa tau juga kalau suatu saat nanti saya bisa menjadi seorang Menteri Ekonomi. Siapa tau kan? ;) Tapi ini juga sebenarnya tidak menutup kemungkinan untuk saya kembali ke dunia musik. Mungkin nanti jika saya kembali menjadi seorang penyanyi, saya juga bisa sambil membantu mengatasi masalah piracy dan penjualan CD yang sekarang semakin terpuruk. Yang penting kini saya merasa enjoy menekuni major saya, belajar sebanyak-banyaknya, dan lulus dulu dengan nilai yang baik. o:)
by. Aluna Sagita Gutawa on her personal official blog
penyanyi muda berbakat :)
Currently studying Economics at University of Birmingham
Tidak ada komentar:
Posting Komentar